Rabu, 14 Maret 2012

PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN


Oleh: Slamet Hariyanto


A. DEFINISI DAN JENIS PENGETAHUAN
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam Bahsa Inggris Knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.
Sedangkan secara Terminologi akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atu hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah milik atau isi pikiran.[1] Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam amus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (Knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusuri yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[2]\
Dalam Ensiklopedia Indinesia kita dapati uraian yang lebih luas, menurut Epistemologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari berkontaknya dua macam besaran yaitu: pertama, benda atua yang diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (objek). Kedua, manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal) benda atu hal tadi.[3]
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti kehadiran internasional objek dalm subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran dan kepastian). Disini subjek sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengetahuan sadar. Karena sangat sulit melihat bagaiman persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksistensi tanpa kehadiran eksisitensi itu dalam dirinya.[4]
Orang pragmatis, terutama John Dewy tidak membedakan pengetahuan denan kebenaran (antara Knowledge dan Truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.[5]

B. JENIS PENGETHAUAN
Pertama, pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan common sens, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, dan juga benda itu panas kerana memang dirasakan panas, dan sebagainya.
Kedua, pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ulmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.[6]
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secar objektif, tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makana terhadap dunia factual, pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu , diperolehnya melalalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsure pribadi, pemikiran logika diutamakan,netral dalam artian tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat subjektif, karena dimulai dari fakta. Ilmu merupakan milik manusia yang komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dari  keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.[7]
Ketiga, Pengetahuan Filsafat, yaitu pengetahuan yang diperleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longer kembali.
Keempat, pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan lewat RasulNya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan ini mengandung hal-hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Dan yang lebih penting dari pengetahuan ini disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari Akhir.

C. PEBEDAAN PENGETAHUAN DENGAN ILMU
Dari jumlah pengertian yang ada, sering ditemukan kerancauan antara pengertian pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata majemuk yang mengandung arti sendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai karangan yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan. Namun jika kedua kata tersebut berdiri sendiri, akan tampak perbedaan antara keduanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya denga pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan.[8] Dari asal katanya kita dapat ketahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu Knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab 'Ilm.[9]
Seiring dengan difinisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka difinisi berikutpun tidak jauh berbeda. Pengetahuan merepakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-brang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbenbentuk ideal yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Untuk memperjelas pemahamann kita perlu juga dibedakan antara pengetahuan yang bersiafat prailmiah dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat prailmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah pada umumnya. Sebaliknya pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah.
Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah harus memiliki objek tertentu (formal dam material)dan harus bersistem (harus runtut). Disamping itu pengetahuan ilmiah harus memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang umum. Metode itu meliputi metode deduksi, induksi, dan analisis.[10]
The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principle of sciencitific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkapdan lebih cermat tentang alam dimas lampau, sekarang dan kemmudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Ruusan lain dating dari Carles Siregar yang menyatakan: ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Dalam arti umum, ilmu sering dijadikan pembeda, umpamanya untuk membedakan antara disiplin Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) denga Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sementara itu Jujun S. Suriasumatri dalam buku Ilmu dalam Prespektif menulis "Ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan dari pada sekedar produk yang siap dikonsumsikan.[11]
Menurut The Liang Gie dalam bukunya mengatakan bahwa "dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, ilmu senantiasa berarti pengetahuan. Diantara para filusuf dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahawa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan.[12]
Perbedaan antara ilmu dan pengartahuan  dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan cirri-cirinya. Herbert L. Searles memperlihatkanciri-ciri tersebut sebagai berikut: "Kalau ilmu berbeda denagn filsafat bedasrkan empiris, maka ilu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri stematisnya.
Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam bahasa, pengetahuan dengan ilmu bersinonim arti, sedangkan dalam arti material, keduanya mempunyai perbedaan.

ILMU DAN NILAI
Menurut pandangan deskripsi konvensional itu, ilmu bertumpu pad analisa terhadap data pengamatan dan percobaan secara impersonal yaitu suatu analisa atas hasil-hasil observasi dan eksperimen dan analisa itu harus objektif, tidak subjektif.
Namun perkembangan membuktikan bahwa system nilai (Value Sistem)seperti ideology, religi, sangat mempengaruhi pengembangan ilmu, bahkan mempengaruhi pilihan dan alternative terhadap sasaran penelitian.
Kalau menurut deskripsi konvesional pemahaman akan alam dilakukan menurut "apa adanya" maka timbul pertanyaan: dapatkah kita sampai kepada hakikat alam sebagaimana adanya itu, melalui ilmusebagai satu proses situ?
Apa yang biasanya kita lakukan sebagai pengamatan awam dan konsep kita yang lahir dari pengamatan dan pemahaman atas sesuatu dalam ala mini, tidak lebih dari suatu abstraksiyang didasarkan pada sifat-sifat alamyang kita pahami melalui pengalamansehari-hari saja, dan tidak lebih dari sekedarkiasan yang melukiskan dan menghubungkan abstraksi yang kita buat dengan realitas benda-benda alam yang kompleks.
Sebagai konsekuensi dari definisi ilmu ialah bahwa semua buah pikiran dan pemaham kita tentang alam yang kita peroleh tidak melalui siklus logico, hipotetico, verifikatif, adalah bukan ilmu dan itu semua kita sebut "pengetahuan". Pengetahuan yang sifatnya dogmatis, atau terpijak pada kenyataan emiris, adalah bukan ilmu.
Salah satu cirri teori keilmuan ialah bahwa ia berdaya rama (prediksi). Namun harus dibedakan antara ramalan keilmuan dan ramalan diluar keilmuan.[13]

D. KEBENARAN ILMIAH
Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposal yang benar. Proposal maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Kebenaran pengetahuan adalah persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa persesuaian yang dimaksud sebagai kebenaran adalah merupakan pengertian kebenaran yang immanen yakni kebenaran yang tetap tingal didalam jiwa.
Maka pengertian kebenaran yang melampaui batas-batas jiwa kita dinamakan pengertian kebenaran yang transenden artinya batas-batas kemampuan rasio dan jiwa manusia.
Rene Descartes, seorang filosof prancis berpendapat bahwa ilmu dalam jalan pikirannya mencapai kebenaran amat banyak berdasarkan axioma dan kebesaran yang sudah tak dapat di ganggu gugat lagi. Kebenaran itu kerapkali berasal dari agama. Dalam agama kebenaran yang demikia itu disebut "dogma".[14]
Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama menulis bahwa agama dapat diibaratkan sebagi suatu gedung besar perpustakaan kebenaran.[15] Di dalam pembicaraan mengenai "kepercayaan" dapat kita simpulkan bahwa sumber kebenaran adalah Tuhan.
Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebnaran pengetahuan, ilmu dan filsafat, tanpa kebenaran agama. Sebagaiamana kita juga tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, kebenaran-kebenaran lainnya yang relative yang walaupun tidak mutlakitu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakana: kita dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran yang lainnya, yang bersesuaian atau tidak betentangan dengan agama.[16]
Adapun kebenaran pengetahuan terbagi menjadi beberapa kategori yaitu:
Kebenaran yang pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya pengetahuan itu meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Kebenaran penegtahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaiman cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan penginderaan atau akal pikirnya, atau rasio, intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantunan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antar subjek dan objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung kebenaran yang sifatnya subjektif, sedangkan jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam.[17]

E. TEORI KEBENARAN
Menurut Michael Williams terdapat 5 teori kebenaran, yaitu: Kebenaran Koherensi, Kebenaran Korespondensi, Kebenaran Performatif, Kebenaran Pragmatik, dan Kebenaran Proposisi.
1.      Kebenaran Koherensi
Sesuatu yang koheren dengan sesuatu yang lain berarti ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki hirarki lebih tinggi, hal ini dapat berupa skema, sisitem, atau nilai. Koheren tersebut mungkin saja tetap pada dataran sensual rasional, tetapi mungkin pula menjangkau dataran transenden.
2.      Kebenaran Korespondensi
Berfikir benar korespondensi adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalanatau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan (positifisme), antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik.
3.      Kebenaran Performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis, yang teoritik, maupun yang filosofik. Orang yang mengetengahkan kebenaran tampilan actual yang disebut dengan kebenaran performatif tokoh penganut ini antara lain Strawson (1950) dan Geach (1960) sesuatu sebagai benar biladapat diaktualkan dalam tindakan.
4.      Kebenaran Pragmatik
Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce. Yang benar adalah ya g konkret, yang individual, dan yang spesifik, demikian James Deweylebih lanjut menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi antara idée denga fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah kegunaan praktis.
5.      Kebenaran Proposisi
Sesuatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi- proposisinya benar dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai denganpersyaratan formal suatu proposisi. Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks.[18]
Descartes merumuskan pedoman penyelidikan supaya orang jangan tersesat dalam usahanya mencapai kebenaran sebagai berikut:
Pertama, janganlah sekali-kali mnerima sebagai kebenaran, jika tidak ternyata kebenarannyadengan terang benderang, hauslah kita membuang segala prasangka dan janganlah campurkan apapun juga yang tak nampak sejeas-jelasnya kepada kita, hinga tak ada dasar sedikitpun juga untuk sanksi.
Kedua, rincilah tiap kesulitan sesempurna-sempurnanya dan carilah jawaban secukupnya.
Ketiga, aturlah pikiran dan pengetahuan kita sedemikian rupa, sehingga kita mulai dari yamng paling rendah dan sederhana, kemudian meningkat dari sedikit, setapak demi setapak untuk mencapai pengetahauan yang lebih sukar dan lebih ruwet.
Keempat, buatlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya dan seumum-umumnya hingga menyeluruh, sampai kita tidak khawatir kalau-kalau ada yang kelewatan[19]

F. ETIKA KEILMUAN
Imu filasafat sebagi usaha ilmiah dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkup bhasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadidua kelompok bahsan yaitu filsafat teoritis dan filafat praktis. Kelompok pertama memepertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok yang kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawaban tenteng segala sesuatu.
Etika termasuk kelompok praktis dan dibagi menjadi dua kelompok: yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran praktis dan mendasar tentanbng ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan dengan erat dengan pelbagai masalah-masalah nilaikarena etika pada pokoknya membicarakam masalah-masalah predikat nilai "susila dan asusila", "baik dab buruk". Kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak asusila. Sesunguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-orinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tiingkah laku manusia.
Masalah dasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidabg atau masalah tertentu, dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang pencapai kebaikan hidup manusia sebagai manusia.
Menurut Magnis Suseno (1987)etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika Individual dan etika social, yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagaia warga masyarakat. Etika Individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebgai warga masyarakat. Etika social membahas tentang kewajiban manusia sebagai warga masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini tika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika social, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, etika social menyanngkut hubungan manusia dengan manusia lai baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan.
Etika khusus dan etika umum mempunyai tangung jawab kepada ilmu daan profesi yang disandangnya . dalam hal ini para ilmuwan berorientasi pada rasa dasar akan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sebagai ilmuwan yang melatar belakangi corak pemikiran ilmiah da sikap ilmiahnya. dewasa  ini dalam penerapan ilmu dan teknlogi orang yang beranggapan atau dipengaruhi dalam keadaan tidak sadar
Dalam kehidupan manusia terdapat dua sikap yaitu: pertama, sikap manusia mengembanganilmu dan teknologi untuk menguasai alam dan menundukkan alam. Kedua, sikap manusia yang mendewakan alam. Dalam hal ini manusia menyerah kepada struktur dan norma yang ada pada alam.
Disamping etika keilmuan yang berupa sikap ilmiah berlaku secara umum, pada kenyataanya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok iluwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika rekayasa, etika bisnis, etika politik dan sebagainya.[20]

G. KESIMPULAN
Dalam filsafat terdapat beberpa keterngan tentang ilmu, pengetahuan, dan kebenaran. Setelah menguraikannya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu, pengetahuan dan kebenaran mempunyai keterkaitan dan saling berhubungan dan tidak dapat dipisahakan. Ilmu dan pengetahuan yang di dapat hanya untuk mencari sebuah kebenaran, dan kebenaran yang mutlak itu hanya dari tuhan yang harus kita yakini.


[1] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet, 1, hlm. 4.
[2] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), cet. 1, hlm. 803.
[3] T.S.G. MULIA dan K.A.H. HIDDING, ensiklopedia Indonesia, Jilid N-Z, artikel: subyek, p. 1284.
[4] Ibid., hlm. 804.
[5] Burhanuddin Slam, Logika Materiil, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), cet., 1, hlm. 28.
[6] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. IV, hlm. 6.
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2005), cet II, hlm. 88.
[8] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
[9] Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jkarta: UI Press, 1983), hlm. 3.
[10] Ibid.,hlm. 4.
[11] Jujun S. Suriasumntri, Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 9.
[12] The Liang Gie, pengantarFilsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1991), hlm. 86
[13] M. Solly Lubis, Filsfat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar maju, 1994), cet.1, hlm. 36-37.
[14] Ibid., hlm. 10
[15] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), cet. 7, hlm. 142
[16] Ibid., hlm. 147.
[17] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2001), cet. 3, hlm. 136.
[18] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), cet. 2, hlm. 13.
[19] M. Solly Lubis, op., cit, hlm. 11.
[20]Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, op.,cit, hlm. 175.

Tidak ada komentar: